![]() |
(sumber:www.gedangsari.com) |
Mari bercerita tentang kopi. Sama sekali bukan karena warung kopi paling sukses sedunia, Starbuck, ternyata pendukung LGBT yang saya kutuk itu. Sementara kasusnya saya tutup dengan berazam bahwa saya tidak akan pernah minum kopi starbuck lagi. Lu, gua, end!
Sesungguhnya kopi memiliki tempat tersendiri dalam hikayat keluarga kami. Tidak hanya karena abak (ayah), ibu dan saya sendiri adalah peminum kopi. Lebih dari itu almarhum Abak pada suatu waktu dulu adalah petani kopi dan kemudian mengembangkan sayap usahanya dengan memproduksi bubuk kopi sendiri dengan merek dagang ‘Rangkiang’.
Rangkiang mungkin bukan nama yang mudah dipahami oleh kebanyakan orang, Nama itu diambil dari bahasa Minang yang berarti lumbung padi. Cobalah google gambar rumah gadang, rangkiang biasanya berdiri anggun di sudut depan kiri dan/atau kanan dari rumah gadang. Ia berupa bangunan panggung, langsing karena lingkar pinggangnya lebih kecil dari pada lingkar bahunya serta beratap bagonjong (menyerupai tanduk kerbau,) sebagaimana rumah gadang.
Kopi tubruk adalah satu-satunya cara meminum kopi yang kami tahu dimasa itu. Di rumah-rumah, di lepau-lepau kopi dan rumah makan, bila anda meminta kopi, maka kopi tubruklah yang akan disuguhkan. Kopi tubruk sejatinya adalah bubuk kopi yang disiram (‘ditubruk’) dengan air mendidih, tanpa disaring. Boleh diminum dengan atau tanpa gula, sesuai selera. Adapun kopi susu, kopi tubruk yang ditambahkan susu kental manis cap Nona, adalah puncak kemewahan. Hanya petani yang baru panen, pegawai yang baru gajian atau pedagang yang kebetulan balabo (berlaba) yang mampu menikmatinya. Sama sekali tidak pernah kami mendengar kata-kata seperti cappucino, cafe latte, machiato, americano, doppio dan berbagai ragam kopi berbasis expresso lainnya.
Abak memulai usaha memproduksi bubuk kopi setelah kami menetap di sudung palupuh
(klik kabacarito: Hijrah ke Sudung Palupuh), ketika saya sudah bersekolah SD (Sekolah Dasar), jadi sekitar awal 1980-an. Usaha ini bertahan beberapa tahun saja.
Abak memiliki ladang kopi yang tak seberapa luas. Mulanya abak menjual hasil panen kopinya dalam bentuk biji kopi kering, Namun layaknya kebanyakan komoditi pertanian, harga biji kopi berfluktuasi, seperti roller-coaster. Kadang mahal, lalu terjun bebas murah sekali pada tingkat yang merugikan petani. Sebagai orang yang senang melakukan hal-hal baru, abak memutar otak (meluncurlah ke tautan http://kabacarito.blogspot.my/2013/05/abak.html untuk cerita lebih detail tentang abak). Hasil permenungan dan perenungan itu adalah keputusan untuk memproses lebih lanjut biji kopi itu menjadi bubuk kopi yang nantinya akan dijual ke lepau-lepau (warung) di dusun kami dan desa-desa sekitar. Dengan meningkatkan nilai tambah, Abak berharap ia tidak terlalu terpengaruh oleh gejolak harga biji kopi mentah dunia. Epic sekali kedengarannya, bukan? Seorang petani kopi miskin dari dusun kecil dipelosok Kerinci, yang dikurung lebatnya rimba hujan Sumatera, mencoba menantang hegemoni kapitalis yang memainkan harga-harga seenak perutnya saja.
Buah kopi yang siap untuk dipetik ditandai dengan kulit buahnya yang berwarna merah tua, seperti apel washington. Buah-buah itu dipetik dengan tangan. Pohon kopi tidaklah terlalu tinggi, sebagian besar buahnya dapat dijangkau sambil berdiri. Pohon kopi yang tumbuh dikampung kami adalah kopi robusta.
Menggiling dan Berjemur
Pengolahan biji kopi selepas panen diawali dengan menggiling buah-buah kopi matang itu menggunakan mesin sederhana yang terbuat dari kayu dan diputar dengan tenaga manusia. Penggilingan ini bertujuan untuk memecah kulit buah agar proses pengeringan berlangsung lebih cepat. Didalam setiap buah kopi biasanya terdapat dua biji. Selanjutnya biji kopi yang telah terbelah itu dijemur dibawah matahari.
![]() |
Menggiling buah kopi (sumber: http://www.tempo.co) |
Selama musim panen kopi, halaman-halaman rumah dan bahu-bahu jalan dipenuhi oleh hamparan biji kopi yang dijemur. Ketika pagi mulai merekah, kami sibuk membentang plastik-plastik lebar aneka warna yang diatasnya kemudian buah-buah kopi ditumpahkan dari karung, lalu diratakan hingga memenuhi seluruh hamparan plastik menggunakan alat kayu menyerupai bilah buldozer yang bertangkai. Menjelang Matahari tenggelam, hamparan biji-biji kopi itu dikumpulkan kebagian tengah plastik dengan mengangkat pojok-pojok plastik, lalu dimasukkan kembali kedalam karung-karung. Sering pula, biji-biji kopi itu tidak pernah dimasukkan kembali ke karung-karung hingga benar-benar kering. Sepanjang malam dibiarkan saja teronggok dihalaman, ditutup plastik yang juga berfungsi sebagai alas penjemuran. Onggokan itu dibuka dan dihamparkan kembali bila pagi tiba.
![]() |
Menjemur kopi (sumber: http://www.krjogja.com) |
Kadang cuaca tidak bersahabat, hujan tiba-tiba turun disiang hari. Ini memerlukan tindakan sigap untuk menyelamatkan biji-biji kopi dari basah kuyup, dengan secepat mungkin mengangkat ujung-ujung plastik untuk mengumpulkan biji-biji kopi itu ketengah dan menutupnya.
Bila telah sempurna keringnya, proses selanjutnya adalah memisahkan biji-biji kopi dari kulitnya. Ini bisa dilakukan dengan mesin sederhana dari kayu yang tadi dipakai memecah kulit buah kopi sebelum dijemur. Atau, dapat dilakukan pula oleh mesin penggiling padi (heler), yang tentu saja melakukannya dengan lebih cepat. Biji-biji kopi yang telah bersih dari kulitnya itu sudah siap dijual atau diproses lebih lanjut menjadi bubuk kopi.
Merendang biji kopi kering adalah tahapan maha penting karena ia akan menentukan cita rasa dan penampilan bubuk kopi yang dihasilkan. Semakin lama direndang, kopi yang dihasilkan akan semakin pekat hitamnya dan lebih pahit rasanya. Kuncinya tentu mendapatkan cita rasa, aroma dan penampilan yang paling tepat dan konsisten. Ibu adalah orang yang punya otoritas penuh untuk menyatakan bahwa proses ini masih harus dilanjutkan atau dihentikan. Sebelum perendangan dilakukan, ibu pula yang menyeleksi biji-biji kopi yang layak direndang. Hanya biji yang bernas saja yang layak direndang. Biji-biji yang hitam atau kisut akan dibuang, karena ianya hanya akan merusak kualitas bubuk kopi.
Sebelum abak memulai usaha bubuk kopinya, kami sudah sering merendang biji kopi hasil panen ladang sendiri, yang bubuk kopinya untuk konsumsi sendiri saja. Kuali besi, yang biasa ibu pakai untuk memasak rendang daging kerbau menjelang bulan puasa atau hari raya, sudah cukup untuk merendang biji kopi. Akan tetapi metode paling sederhana ini tentu tidak memadai lagi mengingat banyaknya biji kopi yang harus direndang dalam satu waktu.
Rupanya, dalam dekade 70-an, kakak laki-laki ibu, yang kami biasa panggil Mak Dang, telah menjalankan usaha memproduksi biji kopi di Sungai Penuh, ibukota kabupaten kami. Kemudian ia kembali ke kampung halaman Ibu dan meneruskan usaha bubuk kopinya hingga kini. Entah kenapa, salah satu alat vital dalam industri bubuk kopi, yaitu alat perendang biji kopi, tidak dia bawa pergi dan dititipkan dirumah Tek Da, adik perempuan Ibu. Selama beberapa tahun ia teronggok sepi sebagai besi tua digudang. Setelah diperiksa ternyata alat ini masih dalam kondisi baik dan masih dapat digunakan. Maka ia kemudian kami bawa ke dusun kami untuk berkhidmat dalam usaha bubuk kopi Rangkiang, kopi asli nomor satu diseluruh dunia.
Alat ini berbentuk silinder. Ia dibuat dengan memodifikasi drum minyak berukuran cukup besar. Diameternya sekitar 70-80cm. Ditengahnya dipasang sumbu dari besi berdiameter kurang lebih satu inchi, yang menjulur keluar dikedua sisi sejajar silinder itu. Disatu sisi, sumbunya menjulur lurus barang 20cm. Disisi lain, sumbu itu menjulur lebih panjang dan berkelok. Bermula lurus kemudian berbelok 90 derajat, lalu berbelok lagi 90 derajat, membentuk huruf L.
Sementara itu, pada sumbu besi dibagian dalam silinder, dipatri beberapa bilah plat besi dengan posisi sedemikian rupa yang memungkinkan terjadinya pengadukan yang merata, ketika silinder itu diputar pada sumbunya. Disisi silinder yang melengkung, dibuatkan pintu kecil, untuk memasukkan dan mengeluarkan biji besi dari alat perendangan.
Selanjutnya, dipilihlah tempat untuk melakukan proses perendangan ini dan disitu dipasang dua tonggak sejajar. Gunanya adalah sebagai tempat dimana sumbu yang menjulur keluar dari silinder perendangan akan disangkutkan. Dibawah silinder, api mulai dinyalakan dengan menggunakan kayu bakar. Setelah biji kopi kering dimasukkan kedalam silinder, maka prosesi perendangan dimulai dengan memutar silinder itu, melalui juluran sumbu berbentuk L, terus menerus pada kecepatan tetap, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu pelan. Api pun dijaga agar stabil, tidak terlalu besar, tidak pula terlalu kecil. Abak adalah perendang utama. Biasanya perendangan dimulai selepas subuh dan selesai ketika matahari telah tinggi, tentu saja setelah ibu memberi persetujuan bahwa perendangan telah selesai.
Bila pagi itu ada prosesi merendang kopi, ibu akan bolak balik dari sekolah kerumah, yang memang tidaklah jauh, sekedar untuk memonitor perendangan. Beberapa biji kopi akan dikeluarkan sedikit dari drum perendangan dan ibu akan melihat penampakannya. Kadang keluar instruksi untuk memperbesar atau mengecilkan api, agar proses masaknya kopi tidak terlalu cepat yang bisa menghanguskan biji kopi atau tidak terlalu lambat. Abak tidak pernah percaya diri untuk memastikan apakah kopi telah matang atau tidak. Bahkan, Abak tak pernah menjawab dengan meyakinkan kalau sesekali Ibu menanyakan tentang masakannya, apakah terlalu asin atau kurang garam atau kurang bumbu yang lain. Abak selalu menjawab bahwa ia hanya tahu kalau makanan sudah keasinan, selainnya sama saja baginya. Maka, keputusan apakah perendangan sudah cukup atau belum sepenuhnya menjadi hak prerogatif Ibu yang tidak bisa diganggu gugat. Saking pakarnya Ibu, lama kelamaan, Ibu tidak lagi perlu melihat penampakan biji kopi untuk mengeluarkan instruksi, cukup dari baunya saja. “Alah mah, angkek lah lai..! (Sudah cukup, angkat saja!)”, begitu instruksinya terdengar dari dalam rumah.
Biji kopi yang telah sempurna masaknya, wangi baunya dan coklat tua warnanya, dikeluarkan dari drum perendangan. Proses berikutnya adalah menghaluskan biji-biji itu hingga menjadi bubuk. Tapi sebelumnya, biji-biji itu dihamparkan dulu, diangin-anginkan agar dingin dan asapnya hilang.
Proses penghalusan biji-biji kopi yang telah direndang ini kami lakukan, lagi-lagi, dengan teknologi yang sederhana, yaitu menumbuknya menggunakan lesung dan alu. Hanya saja, mengingat kuantitas biji kopi yang kami proses cukup banyak, maka lesung kecil dan alu yang digerakkan dengan tangan jelas tidak memadai. Maka, dibelakang dapur kami membangun instalasi lesung kaki berukuran besar, dengan alu yang digerakkan oleh kaki menggunakan prinsip jungkat-jangkit. Kurang lebih seperti jungkat-jangkit yang banyak dijumpai ditaman-taman permainan kanak-kanak.
Lagi-lagi kami menggunakan drum besar bekas tempat minyak, kali ini untuk membuat lesungnya. Drum itu dipotong hingga tingginya sekitar 70-80 cm. Didasar dan dinding bagian dalamnya dipasang kerangka besi, selanjutnya dicor dengan adonan semen dan pasir, dimana komposisi semennya jauh lebih banyak. Jadilah lesung beton yang sangat kokok, cukup tegar menerima hantaman alu kayu besar bertubi-tubi.
![]() |
Miniatur lesung kaki (sumber: Museum Orang Asli, Gombak, Selangor, Malaysia) |
Alu kami buat dari batang kayu yang cukup besar. Aku lupa nama kayunya, yang jelas kayu jenis ini sangat keras dan berat.
Sementara itu, batang kayu sepanjang kurang lebih 6 meter digunakan sebagai sumbu utama dari alu jungkat-jangkit ini. Ia juga besar dan berat. Salah satu ujungnya dilubangi dan kedalamnya disorongkan ujung alu tadi, sehingga alu dan sumbu membentuk sudut sempurna 90%. Sekitar satu setengah meter dari ujung lain dari kayu sumbu, ditanamkan sumbu besi berdiameter kurang lebih 2 inchi, menembus batang kayu sumbu, dan menjulur kekiri dan kekanan sepanjang kurang lebih 25cm. Sumbu besi menjulur ini kemudian disangkutkan pada dua tonggak kayu yang telah ditanam dengan kokoh. Maka titik inilah yang menjadi titik tumpu jungkat-jangkit ini. Ujung kayu sumbu yang tidak ada alunya, bagian atasnya diratakan, agar nyaman untuk menapakkan kaki dalam menggerakkan alu jungkat-jangkit ini.
Begitulah, biji kopi yang telah direndang dimasukkan kedalam lesung, alu kemudian diletakkan keatasnya. Sementara, di ujung yang lain, Abak atau Da San (Uda Hasan), yang membantu Abak memproduksi kopi, bersiap memainkan jungkat-jangkit. Cara kerjanya sungguh sederhana, ketika Abak atau Da San menekan ujung kayu sumbu didekatnya menggunakan kaki, maka ujung yang lain dimana alu besar menempel, akan terangkat. Kemudian, begitu kaki yang menekan ujung kayu sumbu dilepaskan maka ujung lain akan jatuh, alu yang berat itu menghantam biji-biji kopi didalam lesung. Demikian seterusnya hingga biji-biji itu hancur menjadi kepingan-kepingan halus. Saat prosesi penumbukan itu, biji-biji kopi terus mengeluarkan aroma yang sedap.
![]() |
Mesin penggiling kopi manual (sumber: http://www.ebay.com) |
![]() |
Kaleng seng (sumber:www.agromaret.com) |
Abak mendistribusikan kopi nomor satu sejagad itu dengan menggunakan sepeda tuanya, yang sering disebut sepeda laki-laki, sebab ia tak mungkin dikayuh perempuan yang mengenakan kain atau rok, gara-gara besi bulat melintang horizontal dari bawah setang hingga bawah tempat duduk. Adalah karung goni, dimodifikasi sedemikian rupa membentuk tas besar dengan dua kantung dikiri dan kanan, kurang lebih seperti tas kulit yang diletakkan dipunggung kuda para koboi difilm-film. Bagian tengah tas goni itu diletakkan diatas tempat duduk belakang. Kedalam dua kantung dikiri dan kanan, masing-masing disorongkan sebuah kaleng seng yang tingginya sekitar setengah meter dan sisi-sisinya sepanjang kurang lebih 30cm. Didalam kaleng-kaleng itulah bubuk kopi berbagai ukuran disusun rapi. Kaleng itu biasanya merupakan kemasan minyak goreng. Pada zaman itu, bahkan hingga kini, kaleng-kaleng itu sangat populer menjadi tempat kerupuk. Lihat saja di warteg-warteg. Satu sisinya kadang sudah diganti dengan kaca, demikian pula tutup atasnya sudah dimodifikasi agar mudah dibuka oleh tangan-tangan orang Indonesia yang tidak bisa makan tanpa berisiknya kriukan kerupuk yang tak bergizi itu.
![]() |
Kaleng kerupuk (sumber: http://www.paper-replika.com) |
Dikampung kami, kaleng itu punya peran lain yang cukup terhormat. Ia menjadi alat takar standar beberapa komoditi, seperti beras, kopi dan kacang-kacangan. Kami tidak terbiasa membeli beras dengan ukuran metrik kilogram atau liter. Satu kaleng beras setara dengan sepuluh gantang. Satu gantang setara dengan dua setengah liter. Untuk beras, satu gantang beras beratnya kurang lebih satu setengah kilogram. Jadi satu kaleng beras beratnya kurang lebih lima belas kilogram. Konversi dari volume ke berat ini tentu hanya valid untuk beras, karena komoditi lain memiliki massa jenis yang berbeda. Belum berhenti disitu, satu gantang setara dengan enam canting. Canting adalah ukuran volume menggunakan kaleng kecil silinder bekas kemasan susu kental manis cap Nona. Canting adalah ukuran yang paling populer didapur, digunakan untuk mengukur berapa banyak menanak nasi. Dilepau-lepau kampung kami anda bisa membeli beras per canting. Jadi, satu kaleng setara dengan enam puluh canting. Ok…anda kelihatan bingung, mari kita ringkaskan 1 kaleng = 10 gantang = 60 canting.
![]() |
Susu cap Nona (sumber:antikpraveda.blogspot.com) |
Paling tidak dua kali seminggu Abak mengayuh sepeda tuanya berkeliling masuk dusun keluar dusun, menghampiri lepau-lepau pecah belah, warung-warung kopi dan kedai-kedai nasi. Stok kopi berbagai ukuran dititipkan, Abak mencatat dibuku saktinya dan meminta paraf dari pemilik lepau. Pada kunjungan berikutnya, Abak memungut pembayaran atas bubuk kopi yang terjual, menambahkan stok yang menipis dan mencatat lagi dibuku saktinya. Demikian seterusnya. Buku sakti Abak itu sangat populer dikalangan para pedagang (atau tukai kredit) dizamannya, tebalnya sekitar 100 halaman, bentuknya ramping karena panjangnya sepanjang kertas A4 tapi lebarnya hanya setengah kertas A4. Sampul bukunya tebal agar tangguh menghadapi berbagai cuaca dan suasana.
![]() |
Sepeda laki-laki (sumber: http://www.pixoto.com) |
![]() |
Kue sangko (sumber: landakungu.wordpress.com) |
![]() |
Ladang tembakau (sumber: http://www.panoramio.com) |
Pengolahan tembakau pasca panen cukup rumit. Setelah dipanen, daun-daun tembakau itu dirajang atau diiris dengan ketebalan yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan atau kualitas daun tembakaunya. Merajang tembakau adalah keahlian khusus yang harus dipelajari dan dilatih. Alat bantu merajang tembakau relatif sederhana, utamanya adalah pisau khusus dan alat bantu dari kayu untuk menjepit daun-daun tembakau itu. Selepas dirajang, irisan-irisan daun tembakau yang tipis dan panjang itu dihamparkan diatas anyaman bambu, lalu dijemur. Proses penjemuran memakan waktu berhari-hari untuk mencapai tingkat kekeringan yang diinginkan, ditandai dengan warna yang coklat tua, mendekati hitam, serta aroma khas tembakau. Sepanjang masa pengeringan, hamparan tembakau itu disemprot dengan larutan kimia tertentu, mungkin untuk mengawetkan. Bila ladang tembakau dimana panen dilakukan terletak jauh dari dusun, masa semua proses itu dilakukan diladang. Tembakau kering lalu diangkut kedusun oleh buruh angkut, untuk selanjutnya dikemas. Selama itu para pekerja panen dan pengolahan tembakau tinggal diladang, dipondok bambu darurat.
![]() |
Menjemur tembakau (sumber: http://www.tribunnnews.com) |
Catatan: Foto-foto hanyalah sekedar ilustrasi, tidak terkait langsung dengan cerita.