==o0o==
Menjelang pukul sembilan malam, saya turun ke restoran 022 di lantai dasar. Saya katakan kepada pelayan saya mau makan sushi. Sigap ia membawa daftar menu sushi.
“But I want to meet Chef Asep too”, kata saya sambil menerima buku menu, yang dihalaman mukanya lagi-lagi terpampang foto Chef Asep berukuran besar, kali ini sambil menjinjing ikan laut besar berwarna merah.

“Sure, Sir. I’ll let him know.” Kemudian ia bergegas menuju Sushi bar. Ternyata disebuah pamflet kecil yang mempromosikan menu sushi diatas meja saya, terpampang juga wajah Chef Asep. Saya jadi penasaran sekali, apa istimewanya orang ini. Mukanya dimana-mana.
Beberapa menit kemudian seorang anak muda menghampiri meja saya sambil tersenyum dan menyapa “Good evening, Sir. Thank you for staying with us.” Dia Chef Asep. Saya jawab dengan Bahasa Indonesia “Selamat malam. Terima kasih juga karena menemui saya.” Kami berkenalan lalu berbincang hampir dua jam lamanya, dalam Bahasa Indonesia tentunya. Obrolan cepat tersambung karena ternyata kami sama-sama tinggal di Bekasi, saya di Bekasi Timur dan Asep di Tambun.
Asep Hendra Iing nama lengkapnya. Pemuda tiga puluh tiga tahun itu kini adalah Executive Sushi Chef di Trident Hotel, Bandra Kurla, Mumbai. Tiga tahun sudah ia di India. Sebelumnya ia memegang posisi yang sama di The Oberoi, New Delhi. Namun hotel yang telah berusia 51 tahun itu kini sedang direnovasi total dan berhenti beroperasi sementara. Ia ditransfer ke Trident Hotel Bandra Kurla, yang masih anggota The Oberoi Group. Pernah pula ia bekerja sebagai sushi chef di Dubai selama tiga tahun di dua hotel berbeda, Ramada Jumeirah dan Madinat Jumeirah. Kisah hidupnya hingga menjadi master chef, sungguh mengesankan dan menginspirasi.
Saya bertanya, “Kang Asep sekolah jadi chef dimana?”
“Saya nggak sekolah chef, Pak. Saya cuma lulusan Madrasah Aliyah.”
“Saya belajar otodidak saja pak, sambil bekerja di restoran Jepang, jadi asisten Master chef yang asli orang Jepang,” lanjutnya. Ia mulai menceritakan kisah hidupnya dari awal.
Asep adalah anak pertama dari enam bersaudara, dari keluarga sederhana di Padakembang, Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia lahir dan tumbuh dikampungnya hingga menyelesaikan sekolahnya di Madrasah Aliyah Al-Ikhlas Padakembang.
Setamat Madrasah Aliyah, ia pindah ke Bekasi dan tinggal di rumah Pak Dede, pamannya yang kebetulan juga bekerja sebagai chef. Tujuan awal pindah ke Bekasi adalah untuk kuliah Diploma Public Relation di sebuah lembaga pendidikan yang punya kampus di dekat terminal bis Bekasi. Namun karena mahasiswa jurusan PR tidak mencapai dua puluh orang, kuliah di Bekasi ditiadakan dan digabungkan ke kampus pusat di Pasar Minggu. Pasar Minggu terlalu jauh dari Bekasi. Orang tuanya tidak mengijinkan Asep kost sendiri di Pasar Minggu. Ada kekhawatiran atas biaya dan juga kebebasan pergaulan, karena jauh dari sanak saudara yang dapat memonitor. Akhirnya Asep tidak jadi kuliah.
Ia memutuskan untuk bekerja saja. Segera ia mengurus ‘kartu kuning’, sebutan untuk kartu pencari kerja, ke Dinas Tenaga Kerja Bekasi. Akhirnya ia diterima bekerja di pabrik printer Epson. Ia bersemangat sekali karena perusahaan menyediakan antar jemput, makan siang, uang lembur dan bonus yang lumayan. Namun Asep tak bertahan lama. “Bekerja di pabrik terlalu melelahkan, Pak. Karyawan bener-bener diperas sampai habis”, kenangnya.
Sang paman kemudian mengajak Asep untuk bekerja direstoran Jepang tempatnya bekerja sebagai chef, dikawasan Melawai, Jakarta Selatan. Restoran itu bernama Syunsai Siki. Ia enggan mulanya, meski pandai memasak, ia tak berminat menjadi tukang masak. Namun saat itu ia tak punya pilihan lain, ia turuti kata pamannya. Asep diterima sebagai kitchen helper, membantu para chef yang sedang mempersiapkan hidangan, mencuci piring dan bertanggung jawab atas kebersihan dapur. Ternyata hari-hari pertama bekerja telah mengubah persepsinya tentang tukang masak. Melihat aksi kolaborasi pamannya dan executive chef asli Jepang, lambat laun ia bertekad untuk menjadi chef yang handal. Ini jelas kesempatan terbaiknya, ia berinteraksi dengan dan belajar dari para chef professional.
Setiap hari Asep membantu dan menyaksikan pamannya dan executive chef yang orang Jepang asli itu mempersiapkan hidangan. Sambil menjalankan tugasnya sebagai helper, ia menyimak langkah-langkah persiapan, penyajian dan bahan-bahan yang digunakan dengan seksama serta berusaha keras untuk mengingatnya. Setiba dirumah, hal pertama yang ia lakukan adalah membuka buku catatannya dan memindahkan informasi yang menumpuk dikepala kedalam buku itu.
Asep really went extra miles. Diwaktu senggang ia pelajari tentang masakan jepang dari berbagai sumber, buku maupun online. Segala jenis bahan masakan masakan jepang ia hafal diluar kepala, termasuk nama-nama Jepangnya. Ia pelajari dengan mendalam jenis-jenis bahan itu.
Sebagai helper ia sebenarnya tidak diperbolehkan memasak atau mempersiapkan makanan untuk tamu. Namun, Asep membandel. Saat kepercayaan dirinya mulai merangkak naik dan tangannya gatal untuk ikut serta, seringkali ia bersikeras untuk turut mempersiapkan pesanan, terutama pada jam-jam sibuk ramai pelanggan.
Executive chef yang orang Jepang itu terkenal sangat keras. Kesalahan kecil dapat mengundang teriakan dan umpatan yang menyakitkan telinga. Banyak teman-teman Asep yang tidak tahan dan mengundurkan diri. Tapi Asep telah memantapkan hatinya untuk bertahan. Hardikan dan umpatan itu tak pernah ia masukkan hati. Ia tetap fokus dengan tujuannya menjadi chef papan atas. Toh, kemarahan itu juga cepat reda. Ia akan selesai dengan permintaan maaf dan janji untuk tidak mengulangi. Esok hari si Jepang sudah melupakannya, namun tetap beringas bila menemukan kesalahan lain. Dan hal itu ia fahami sepenuhnya sebagai keniscayaan karena kunci kualitas sushi adalah perhatian pada detail. Tidak terlalu lama, kekerasan hati itu telah memberi keyakinan executive chef untuk mempromosikannya dari helper menjadi chef.
Begitulah, enam tahun lamanya ia bekerja dan ditempa oleh dua master chef dari Jepang, didua restoran berbeda. Restoran kedua bernama Matsuriya. Sementara Pak Dede, telah menjadi Executive chef disebuah hotel ketika Asep masih di restoran Jepang yang pertama.
Ditahun keenam, suhu Jepangnya mengundurkan diri dan kembali ke negerinya. Mau tak mau Asep mengambil alih peran sebagai executive chef, meski sebagai pemangku jabatan semata. Namun, masa-masa itu adalah yang ia paling nikmati dan syukuri, untuk pertama kalinya merasakan tanggung jawab yang demikian besar dan kritikal didunia perkokian.
Tak lama kemudian ia mengambil tantangan baru sebagai supervisor restoran di sebuah hotel besar, masih di Jakarta. Setahun kemudian, ada tawaran menarik dari Dubai.
Menjadi Waiter Sukarela
Jaringan hotel Ramada hendak membuka hotel baru di Dubai dan dinamakan Ramada Jumeirah. Sementara property sedang dalam pembangunan, mereka mulai mempersiapkan staff, termasuk untuk restoran. Asep pun bergabung. Ia mengikuti program Pre-opening, semacam orientasi, beberapa bulan sebelum pembukaan hotel.
Ada satu masalah, bahasa Inggris Asep masih buruk dan sangat pasif, jauh dibawah teman-temannya yang lain. Ia sangat percaya diri dengan kemampuan memasaknya didapur, tidak kalah dengan yang lain. Tapi kemampuan komunikasi menjadi sangat penting dan ia harus memilikinya pula, bila tak ingin tertinggal. Sekali lagi ketekunannya diuji.
Asep segera bergerak, ia beli laptop dan belajar bahasa Inggris online. Ia faham, ada kesamaan antara bahasa dan memasak. Mempelajarinya adalah dengan melakukannya. Disini Asep menunjukkan kegigihannya kembali. Sebagai sushi chef, ia bertugas untuk lunch dan dinner saja. Namun, dengan sukarela ia ikut bekerja disesi breakfast, tidak sebagai chef, tapi pelayan. Tujuannya jelas hanya satu, mempraktekkan bahasa Inggrisnya. He was again going extra hours, extra miles. Hasilnya pun nyata, lidahnya kini fasih bercakap bahasa Inggris.
Saya tanyakan mengapa India, setelah bekerja di timur tengah, bukankah orang India justru berduyun-duyun menyesaki Timur tengah. Secara financial Oberoi group menawarkan paket yang lebih baik. Ia akui itu sebagai motivasi awal. Setelah beberapa lama ia juga melihat perusahaan sangat memperhatikan para expatriat, terutama yang memiliki spesialisasi khusus seperti dirinya. Ia merasa diberdayakan dan diapresiasi.
Ketika ditanya kenapa tak membawa keluarga kecilnya ke Mumbai. Istrinya telah memberinya dua anak laki-laki. Asep mengatakan bahwa hal itu dimungkinkan oleh majikan, namun belum memungkinkan dari sisi ia dan keluarganya. Ia baru saja selesai membangun rumah di Cikarang dan baru pindah tiga minggu lalu. Sebelum ini keluarganya tinggal di rumah mertuanya di Tambun. Lagi pula ia masih sangat diandalkan untuk membantu biaya sekolah adik-adiknya. Begitu komitmen finansial itu berkurang, ia akan membawa serta keluarganya.
Kami berhenti berbincang karena jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Asep harus segera kembali bekerja untuk menutup dapur hari itu.