Bumi yang kita diami telah dan terus menciut, karena jarak tak lagi relevan. Komunikasi dapat dilakukan secara instan dan langsung melalui berbagai media yang menghantar teks, suara, gambar diam dan gambar bergerak secepat kilat.
Kita demikian tergantung pada kenyamanan komunikasi super cepat itu. Begitu pemerintah membatasi layanan aplikasi sosial media utama seperti facebook, Instagram, Twitter dan Whatsapp, netizen kelimpungan. Pemerintah berdalih hal itu dilakukan untuk menghambat penyebaran hoax. Entah seberapa efektifnya, karena sembarang kabar hari ini, orisinil ataupun hoax, selalu menemukan jalan untuk menyebar.
Banyak netizen mengakali pembatasan ini dengan menggunakan jasa VPN (Virtual Private Network). Ramai pula yang hijrah ke Telegram, aplikasi penyampai pesan serupa Whatsapp. Entah berapa ratus notifikasi saya terima mengabarkan teman-teman yang bergabung ke Telegram. Telegram konon lebih powerful dan aman dari pada Whatsapp, namun kurang populer.
Namun kali ini saya tak hendak berpanjang lebar membahas Telegram yang ini. Anda download saja dan coba mainkan. Mari berbincang tentang telegram yang lain, yang eksis dan begitu populer puluhan tahun lalu.
Source: alifis@corner
Untuk mengirim pesan melalui telegram, kami harus mendatangi kantor Telkom satu-satunya di ibu kota kabupaten, Sungai Penuh, tiga puluh lima kilometer jauhnya dari kampung kami. Disana kita harus mengisi formulir dengan menuliskan detail pengirim, detail penerima dan pesan yang hendak diantar. Formulir inilah yang akan digunakan oleh operator telegram untuk menghantarkan pesan melalui kode morse.
Tidak seperti surat, menerima telegram umumnya bukanlah hal yang menyenangkan. Karena kecepatannya, telegram umumnya dipakai untuk menyampaikan kabar darurat. Seringnya telegram digunakan untuk mengabarkan berita duka, kerabat meninggal atau sakit keras.
Source: serbajadul.blogspot.com